Wednesday 30 May 2012

SMS Interkoneksi: Apa Untung Ruginya Bagi Konsumen?


Interkoneksi SMS lintas operator yang berbasis biaya bakal mulai dijalankan pada 1 Juni 2012. Lantas, apa imbas yang akan diterima oleh pelanggan terkait implementasi aturan ini?

Nah, sebelum berbicara soal untung ruginya, lebih baik kita cermati lebih dulu apa yang dimaksud dengan interkoneksi SMS ini. 

Seperti diketahui, sebelum pemberlakuan aturan interkoneksi berbasis biaya, regulasi telekomunikasi di Indonesia menganut skema Sender Keep All (SKA). Dengan skema ini, operator pengirim SMS menjadi pihak yang akan menerima pendapatan dari SMS yang dikirimkan. Sementara operator si penerima tidak mendapat apa-apa. 

Selama ini skema SKA dilakukan dengan pertimbangan bahwa trafik SMS antar penyelenggara akan berimbang karena proses balas-berbalas pengiriman SMS. Namun dalam perkembangannya terdapat ketidakseimbangan trafik sehingga operator yang kebanjiran SMS dari operator lain merasa dirugikan.

"Ya, dianggap 'pesta di lahan tetangga'. Pendapatan masuk ke operator pengirim tetapi operator penerima cuma kebagian diberatkan jaringannya," ujar Kepala Humas dan Pusat Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika Gatot S. Dewa Broto kepada detikINET, Rabu (30/5/2012).

Hingga akhirnya, skema SKA diganti dengan interkoneksi SMS berbasis biaya. Adapun biaya interkoneksi SMS mengikuti hasil perhitungan biaya interkoneksi tahun 2010, yaitu sebesar Rp 23 per SMS. 

Biaya Rp 23 ini bukanlah yang menjadi tarif pungut kepada konsumen. Sebab jika sudah jatuh ke konsumen maka komponen biayanya terdiri dari biaya interkoneksi + biaya retail activity, dimana dalam retail activityterdapat komponen lainnya. Mulai dari biaya produksi, pemasaran, profit margin dan lainnya.

Lantas, apa setelah ada interkoneksi berbasis biaya, tarif SMS akan naik? Jawabannya adalah tidak pasti. Sebab itu semua tergantung dari masing-masing operator. Namun yang pasti, dengan adanya aturan ini, komponen untuk tarif pungut kepada konsumen jadi bertambah, yang berasal dari tarif interkoneksi Rp 23.

Jika tarif tersebut dianggap sebagai suatu beban yang sangat memberatkan, tentu bukan tidak mungkin hal ini akan berdampak pada tarif yang bakal dikenakan kepada konsumen.

Pun demikian, untuk kemungkinan ini Gatot menyangsikannya. Ia menyatakan, jika operator nantinya malah menaikan tarif SMS dengan kualitas yang tidak lebih baik operator lain, maka hal itu sama saja 'bunuh diri'. 

"Pendulum akan bergerak ke operator lain dengan harga tarif lebih murah dan kualitas kurang lebih sama. Apalagi proporsi pelanggan seluler prabayar berkisar 94% di Indonesia, ini tentu angka yang sangat besar," tukasnya.

Memang, dari bocoran yang didapat detikINET dari sejumlah operator, sebagian menyatakan tidak akan menaikkan tarif SMS meski diberlakukannya interkoneksi berbasis biaya. Sementara sisanya masih meramu strategi untuk menyikapi aturan tersebut.

Keuntungan lain dari diterapkannya interkoneksi SMS berbasis biaya ini adalah dari sisi serbuan spam. Ya, sebenarnya ini bisa dibilang sebagai plus-minus.

Nilai plus karena aturan ini akan meminimalisir peredaran spam broadcast yang disinyalir sebagai dampak dari promosi para operator yang disalahgunakan alias promosi jor-joran SMS gratis. Di sisi lain, dianggap nilai minus lantaran nantinya tidak akan ada lagi gelontoran SMS gratis lintas operator yang ditawarkan kepada konsumen. 

"Tidak ada lagi SMS gratis. Persaingan antar penyelenggara telekomunikasi untuk menerapkan tarif SMS yang murah secara kompetitif tetap terbuka, namun harus berbasis biaya," lanjut Gatot.

"Sebab jika 'rezim' SKA terus dibiarkan dampaknya sangat besar. Itu yang terganggu tidak cuma jaringan operator, tapi terhadap kualitas layanan secara umum. Itu tentu kondisi yang tidak sehat," pungkasnya.




No comments: